Tiga dari empat keluarga miskin mengalokasikan anggaran rumah tangga untuk rokok. Survei Sosial Ekonomi Nasional bahkan mencatat, pengeluaran untuk rokok lebih besar dibandingkan untuk belanja harian dan biaya pendidikan. Jadi merokok bukan hanya berbahaya bagi kesehatan tapi juga bagi ekonomi masyarakat. Laporan reporter Mustakim dari KBR68H.
Siang itu, Supriyani duduk terpekur di warung makannya di bilangan Manggarai, Jakarta Pusat. Warungnya berupa tenda ukuran 1x2 meter, di pinggir jalan. Ada beberapa kursi plastik dan etalase makanan dari kaca yang sudah tampak lusuh.
Sembari menunggu pembeli, ibu 3 anak ini asik menikmati rokok yang terselip di jarinya. Asap mengepul. Supriyani mengaku sudah kecanduan rokok sejak kecil:
"Awalnya saya sih nyoba-nyoba namanya anak SMP, cuman dulu masih bisa dihindarkan. Nah kesananya aku nyoba-nyoba lagi eh lama-lama keterusan sampai sekarang."
Perokok Berat
Semula Supriyani merokok sembunyi-sembunyi. Takut dimarahi orangtua. Tapi setelah menikah dengan Ngadiyono, ia merasa lebih bebas merokok, kapan pun, di mana pun. Supriyani tergolong perokok berat. Sehari, ia bisa menghabiskan 4 bungkus rokok, sekitar 48 batang tiap hari. Kadang sampai 6 bungkus.
Supriyani rata-rata mengeluarkan uang sekitar 35 ribu rupiah untuk rokok. 4 bungkus sampai malem. Bangun tidur buang air besar saja sudah dua batang. Sejam lagi dua batang. Pokoknya sekali ngisep dua batang dua batang. Dulu pernah 5 sampai 6 bungkus sehari.
Meski punya usaha warung nasi, Supriyani masih bergantung pada pemasukan suaminya yang bekerja sebagai pemulung. Sebab kata dia, penghasilan dari warung nasi tak tentu. Apalagi warung nasinya juga masih baru, baru buka dua pekan.
Dalam sehari, suaminya bisa membawa pulang uang 50 ribu rupiah. Dipadukan dengan pendapatan dari warung nasi, uang yang terkumpul tetap tak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga, dengan dua balita dan satu anak yang duduk di kelas 1 SMP.
Lebih Baik Tidak Makan
Walau pendapatan minim Supriyani tetap merokok. "Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok," kata dia. "Sebagai perokok yang sudah kecanduan, harus tetap merokok dengan cara apapun. Kalau enggak punya rokok, ngebon dulu di warung," tuturnya.
Menjelang sore, suami Supriyani Ngadiyono pulang. Sambil menarik gerobaknya yang berisi berbagai barang bekas, dia sempatkan menyapa anaknya yang berumur sekitar empat tahun. Ia mengeluhkan kebiasaan merokok istrinya yang mulai menggerogoti anggaran rumah tangga.
Suami Mengeluh
Berbeda dengan istrinya, Ngadiyono tidak merokok. "Banyak keluhannya. Anaknya 3 jajannya aja sehari ga cukup 30 ribu, untuk yang kecil. Belum yang SMP. Sudah saya sarankan ga usah merokok. Kasihan. Daripada buat merokok lebih baik buat jajan anak, saya bilang gitu, buat beli susu dua hari sekali beli susu 12 ribu. Pusing mikirnya. Belum biaya anak sekolah." Keluh Ngadiyono.
Keluhan Ngadiyono cocok dengan data Departemen Pertanian tahun 2008 yang menyebutkan konsumsi susu di Indonesia paling rendah se-Asia Tenggara, hanya 9 liter per tahun. Karena uang rumah tangga terlanjur lari ke rokok, tak jarang Ngadiyono serta anak-anaknya harus makan ala kadarnya.
Bukan cuma Supriyani yang menganggarkan uang lebih banyak untuk rokok, ketimbang untuk kebutuhan hidup lainnya. Jurnal internasional Gizi dan Kesehatan Masyarakat pada Januari 2007 mencatat pengeluaran mingguan keluarga miskin kota untuk rokok sangat besar; melebih belanja beras dan asupan sehari-hari.
Survei LSM Hellen Keller International dan Yayasan Indonesia sehat juga menyebutkan, 3 dari 4 keluarga miskin adalah perokok. Konsultan Senior Hellen Keller Dokter Roy Tjiong mengatakan,
"kebutuhan rokok ini menggerus belanja rumah tangga dan pendidikan. Belanja rokok masih lebih besar dibanding belanja lauk ditambah pendidikan ditambah kesehatan. Artinya rokok telah menjadi komoditi inelastik, cuma di bawah beras sehingga dianggap sebagai kebutuhan pokok. Apa yang terjadi sebenarnya rokok telah berhasil memposisikan diri dalam bahasa marketing menjadi produk yang elastik sehingga apapun dikejar."
Balita Korbannya
Jika satu keluarga, dengan anak-anak yang masih balita, mengalokasikan lebih banyak uang untuk rokok daripada untuk makanan, maka ada jutaan balita yang terancam kekurangan gizi. Belum lagi penyakit yang ditimbulkan asap rokok. Ini bukan sekadar menakut-nakuti, Roy Tjiong punya datanya. Tingkat kematian bayi dalam keluarga perokok lebih tinggi dibandingkan bayi dari keluarga yang tidak merokok.
"Menurut penghitungan, kebiasaan merokok berkontribusi pada peningkatan kematian bayi dan balita. Resiko kematian balita meningkat 14 persen di daerah kumuh perkotaan. Dan 24 persen di pedesaan dan secara agregat menyumbang pada kematian 32.400 balita pertahun. Kajian di luar memperlihatkan bahwa rokok menyumbang pada kematian mendadak pada bayi, menyumbang pada meningkatnya serangan asma dan resiko infeksi saluran pernafasan akut."
Ini adalah persoalan serius, terutama keluarga miskin. Sebab menghisap sebatang rokok artinya membuka lebar-lebar kemungkinan sakit, juga terus berkutat dalam kemiskinan.
Generasi Yang Hilang
Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia Arum Atmawikarta mengatakan,
"kalau begini terus, maka masa depan generasi mendatang bakal buram. Lost generation artinya generasi yang hilang atau generasi yang sia-sia. Jadi generasi yang tidak mempunyai kemampuan fisik yang kuat, tidak mempunyai kemampuan intelektual yang kuat dan yang produktifitasnya rendah."
Selain mengancam gizi dan meningkatkan resiko kematian balita, rokok juga mengancam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pengamat ekonomi pembangunan, khususnya soal dampak rokok, Setyo Budiantoro mengatakan:
"Rokok di samping berdampak buruk pada kesehatan juga menyerap ekonomi masyarakat miskin yang sudah sangat terbatas. Jadi membebankan dirinya sehingga mereka terjebak dalam perangkap lingkaran setan. Jadi semakin memiskinkan."
"Pemerintah memang punya banyak program yang diniatkan untuk mengentaskan kemiskinan. Tapi bila pola konsumsi rokok tidak diubah," kata Setyo, maka tidak akan ada perubahan signifikan.
Dilarang?
Dari pinggir rel kereta api Manggarai, Supriyani berjanji akan mengurangi konsumsi rokoknya. Syaratnya, pemerintah serius menjalankan aturan larangan merokok. "Kalau ada larangan kita sebagai perokok, bisa berhenti. Karena kalau kena denda lebih baik ga usah merokok."